Sebagai umat Islam, salah satu pedoman hidup kita selain Alquran adalah hadits. Namun umat Muslim harus berrhati-hati akan hadits-hadits yang belum tentu jelas atau diragukan kebenarannya. Hadits-hadits ini disebut dengan hadits dhoif (lemah). Seperti apakah hadits dhoif?
Definisi hadits dhaif menurut Imam Al-Baiquni adalah, “Setiap hadits yang tingkatannya berada dibawah hadits hasan (tidak memenuhi syarat sebagai hadis shahih maupun hasan) maka disebut hadits dho’if dan hadits (seperti) ini banyak sekali ragamnya.
Klasifikasi lemah-kuatnya suatu hadits, terbagi ke dalam berbagai tingkatan derajat. Mulai dari lemah ringan hingga palsu. Ibnu Hibban telah membagi hadits dhaif menjadi 49 jenis. Namun beberapa yang paling umum terjadi adalah:
- Mudallas: Seseorang yang meriwayatkan dari rawi fulan sementara hadits tersebut tidak didengarnya langsung dari rawi fulan tersebut, namun ia tutupi hal ini sehingga terkesan seolah ia mendengarnya langsung dari rawi fulan. Hadits mudallas ada dua macam, yaitu Tadlis Isnad (menyembunyikan sanad) dan tadlis Syuyukh (menyembunyikan personal).
- Mu’an’an: Hadits yang dalam sanadnya menggunakan lafal fulan ‘an fulan (riwayat seseorang dari seseorang).
- Munkar: Hadits yang diriwayatkan oleh perawi kategori lemah yang menyelisihi periwayatan rawi-rawi yang tsiqah (terpercaya).
- Matruk: Hadtis yang di dalam sanadnya ada perawi yang tertuduh berdusta.
- Maudhu’(Hadits palsu): Hadits yang dipalsukan atas nama Nabi, di dalam rawinya ada rawi yang diketahui sering melakukan kedustaan dan pemalsuan.
- Bathil: Sejenis hadits palsu yang (jelas-jelas) menyelisihi prinsip-prinsip syariah.
- Mudraj: Perkataan yang diucapkan oleh selain Nabi yang ditulis bergandengan dengan hadits Nabi. Sehingga dapat dikira sebagai bagian dari hadits. Umumnya berasal dari perawi hadisnya, baik itu sahabat ataupun yang di bawahnya, diucapkan untuk menafsirkan, menjelaskan atau melengkapi maksud kata tertentu dalam lafal hadits.
Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il Al Bukhari (Imam Al Bukhari) dan sahabat sekaligus muridnya, Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj An Naisaburi (Imam Muslim) adalah dua perawi hadits yang paling populer dan terpercaya. Shahih Bukhari dan Shahih Muslim adalah dua kitab hadits yang paling shahih, namun Shahih Bukhari lebih utama. Pasalnya, Imam Bukhari hanya memasukan hadits-hadits dalam kitab Shahih-nya yang memiliki syarat sebagai berikut:
- Perawi hadits sezaman dengan guru yang menyampaikan hadits kepadanya
- Informasi bahwa si perawi benar-benar mendengar hadits dari gurunya harus valid
Sedangkan Imam Muslim tidak mensyaratkan syarat yang kedua, yang penting perawi dan gurunya sezaman, itu sudah dianggap cukup. Namun seiring perkembangan teknologi, begitu mudahnya seseorang menempelkan ‘HR. Bukhari’ atau ‘HR. Muslim’ di setiap akhir sebuah hadits yang belum jelas keasliannya. Untuk itu alangkah baiknya kita lebih cermat dan teliti sebelum mempercayai suatu hadits.