Telah kita ketahui bahwa haji hukumnya fardhu bagi yang mampu, yaitu satu kali seumur hidup. Lalu apakah kewajiban tersebut harus disegerakan atau dapat ditunda? Artinya, apakah orang yang telah memenuhi syarat-syarat kewajibannya, ia harus menunaikannya sesegera mungkin (pada tahun saat haji telah diwajibkan kepadanya), atau ia boleh menundanya?
Pendapat pertama, menurut Imam Asy-Syafi’I dan Muhammad bin Hasan, haji adalah amalan wajib yang longgar, artinya bisa dikerjakan kapan saja, dengan syarat telah (selesai) ditunaikan sebelum meninggal. Jika seseorang telah memenuhi syarat-syarat haji kemudian ia meninggal sebelum menunaikan haji maka ia berdosa dan termasuk ke dalam dosa besar.
Pendapat mazhab ini berdasarkan pada dalil bahwa haji telah diwajibkan pada tahun ke-5, 6, atau 7 Hijriyah (ada perbedaan pendapat dalam hal ini). Pada tahun ke-9 Hijriyah, Rasulullah SAW tidak menunaikan haji walaupun sebenarnya beliau mampu. Ketika itu beliau mengutus Abu Bakar sebagai amirul hujaj (pemimpin rombongan haji), dan Rasulullah SAW baru menunaikannya kemudian pada tahun ke-10 Hijriyah.
Pendapat kedua dari Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan sebagian pengikut Syafi’i, haji adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sesegera mungkin bagi mereka yang mampu. Jika seseorang mengakhirkannya maka ia berdosa karenanya. Walaupun hadits-hadits yang dijadikan sandaran pendapat ini dha’if (lemah), namun karena jumlahnya banyak, menurut mereka hadits-hadits tersebut saling menguatkan. Hadits ini juga diperkuat oleh sebagian ahli fiqih, seperti Al-Awza’iy, Abu Yusuf, Al-Qasim bin Ibrahim, dan Abu Thalib (dari ahlul bait).
Sebagian lain menguatkan pendapat kelompok kedua ini dengan dalil-dalil yang hampir sama kuat. Namun untuk lebih berhati-hati, haji harus disegerakan.
Ringkasnya, haji adalah salah satu rukun Islam dan termasuk ibadah fardhu yang disebutkan dalam Alquran, As-Sunah, dan ijma’ (kesepakatan) umat.
Sumber:
Hajj & Umrah for Woman, Panduan Perjalanan Aman dan Menyenangkan oleh Indriya R. Dani & Hj. Hayatillah