Maaf Memaafkan dalam Hukum Islam

Momen hari raya Idul Fitri jadi hari terbaik untuk menjalin tali silahturahami, sekaligus jadi saat terbaik untuk melepaskan amarah dengan saling memaafkan. Maaf adalah kata yang amat mudah sekaligus amat sulit diucapkan. Sebagai pihak yang salah, sulit rasanya meminta maaf karena ego diri yang menghalangi. Ada perasaan bahwa kita tidak sepenuhnya salah, atau bahkan sebenarnya bukan kita yang salah.

Sehingga kita merasa tidak perlu meminta maaf. Namun ketika kita ada di posisi yang terluka, kata ‘maaf’ rasanya amat murah dibanding kerugian atau perbuatan salah dari pihak lawan.

Alquran banyak menganjurkan kita memberi maaf. Seperti dalam Surat Asy-Syura ayat 43,

“Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” 

Ayat ini bermakna, bahwa Allah SWT memaklumi fitrah manusia untuk merasakan marah dan emosi. Namun bersabar, berlapang dada, dan memberi maaf tanpa menunggu permintaan maaf adalah jauh lebih utama. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang lain,

“Barangsiapa memaafkan saat dia mampu membalas maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan” (HR Ath-Thabrani).

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah  bersabda:

“Barangsiapa yang didatangi saudaranya yang hendak meminta maaf, hendaklah memaafkannya, apakah ia berada di pihak yang benar atau yang salah. Apabila tidak melakukan hal  tersebut (memaafkan), niscaya mereka tidak akan mendatangi telagaku (di akhirat) (HR Al-Hakim). Dalam riwayat lain, Nabi Muhammad SAW bersabda kepada Uqbah bin Amir Al-Juhani: “Ya Uqbah  maukah engkau kuberitahukan tentang akhlak penghuni dunia akhirat yang paling utama? Yaitu  menghubungi orang yang memutuskan hubungan denganmu, memberi orang yang menahan pemberiannya kepadamu, memaafkan orang-orang yang pernah menganiayamu.” (HR Al-Hakim).

Rasulullah SAW sebagai rasul menanggung banyak konsekuensi atas ketidaksukaan kaum kafir terhadap dakwahnya menyebarkan cahaya Islam. Beliau diludahi, dilempari batu, kotoran unta, jalan yang Beliau lalui ditebari duri, dan sebagainya. Namun Rasulullah SAW selalu menanggapinya dengan kelembutan hati. Diriwayatkan seorang pengemis Yahudi buta setiap hari selalu menyeru keburukan kepada Rasulullah SAW.

Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir. Apabila kalian mendekatinya, maka kalian akan dipengaruhinya.”

Namun Rasulullah SAW membalasnya dengan senantiasa membawakan semangkuk bubur dan menyuapinya tanpa berkata apapun. Rasulullah hanya mendengarkan ejekan dan hinaan sambil terus menyuapi pengemis buta ini. Ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar Asy-Syidiq melanjutkan kebiasaan Beliau ini, namun si pengemis mengenali perlakuan yang berbeda.

“Engkau bukan yang biasa menyuapiku! Dia selalu menghaluskan buburnya terlebih dahulu sehingga tidak susah mulut ini mengunyah.”

Setelah mengetahui yang biasanya menyuapinya adalah Rasulullah dan Beliau telah wafat, si pengemis menangis tersedu-sedu kemudian mengucap syahadat dengan bantuan Abu Bakar.

Derajat ketulusan dan kelembutan hati kita mungkin tak setinggi Beliau sebagai Kekasih Allah. Beliau selalu beranggapan, orang-orang kafir memperlakukannya secara buruk karena mereka tidak mengetahui apa yang mereka kerjakan. Mereka membenci Rasulullah karena mereka belum mengenal Islam. Adalah sangat mungkin kesalahan dari teman, keluarga, suami, istri, atasan, juga terjadi karena ketidaktahuan mereka dan mereka belum mengenal kita dengan baik.

Orang yang pendendam amat sulit hidupnya. Setiap hari yang ada di pikirannya hanya mencelakakan orang yang tidak disukainya. Mereka berharap hidupnya tak tenang, mendoakan hal-hal buruk terjadi padanya, dan sebagainya. Ini menciptakan energi negatif di diri kita, yang pada gilirannya hanya mengundang keburukan, penyakit, dan iri-dengki.

Sedangkan Rasulullah bersabda,

“Jauhilah olehmu sekalian sifat dengki, karena dengki itu memakan kebaikan seperti api melalap kayu bakar.” (HR. Abu Dawud).

Bagaimana jika kita telah berulang kali meminta maaf namun tak kunjung dimaafkan oleh yang bersangkutan? Mungkin kita masih perlu memperbaiki ketulusan kita meminta maaf. Cek kembali apakah cara kita meminta maaf sudah cukup baik dan menunjukkan penyesalan? Jika iya, namun masih belum dimaafkan, cukuplah Allah SWT Maha Pengasih, Maha Penyayang, lagi Maha Pengampun.