Banyak dalil yang memberikan keterangan bahwa wanita yang bersalaman atau bersentuhan kulit dengan suami atau lelaki muhrimnya tidak membatalkan wudhu, antara lain:
Aisyah RA meriwayatkan , “Suatu ketika, aku tidur di hadapan Rasulullah SAW kakiku terlentang di tempat beliau shalat. Ketika hendak bersujud, Rasulullah SAW meminggirkan kakiku.” (HR Al Bukhari dan Muslim)
Aisyah juga meriwayatkan, “Suatu malam, aku tidak mendapati Rasulullah SAW ada di sisiku. Aku cari beliau. Saat itu, Rasulullah SAW sedang melantunkan doa, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan ridha-Mu dari kemarahan-Mu. Aku berlindung dengan kasih ampunan-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak menghitung sanjung pujiku kepada-Mu sebagaimana sanjung puji-Mu atas diri-Mu.” (HR Muslim).
Imam Ahmad meriwayatkan, “Sesungguhnya, Rasulullah SAW telah mencium istri beliau. Kemudian, beliau keluar menuju tempat shalat tanpa berwudhu.” (HR Imam Ahmad).
Ulama fikih menjelaskan maksud “sentuhan” yang termaktub dalam ayat Alquran:
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS Al Maidah, 5: 6).
Sentuhan yang mengharuskan wanita berwudhu bukan sentuhan jabat tangan atau sentuhan kulit seorang wanita kepada suaminya atau muhrimnya. Maksud sentuhan tersebut merujuk kepada jimak, bahkan sentuhan seperti itu tidak saja mengharuskan berwudhu, tetapi juga mewajibkan mandi besar. Dalam Alquran dijelaskan sebagai berikut.
Allah SWT berfirman, “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka (berjimak)” (QS Al Baqarah, 2: 236).
Sumber: Special Guide For Women: Shalat, Thaharah & I’tikaf oleh Dr. Muhammad Utsman A Khasyat