Tie dye adalah istilah modern yang diciptakan untuk menyebut teknik pewarnaan yang meliputi pelipatan, pemutaran, dan pengikatan kain menggunakan tali atau karet. Proses tersebut akan menghasilkan motif yang berbeda tergantung pelipatan dan pengikatannya. Berlawanan dengan kepercayaan populer yang beredar, motif tie dye tidak diciptakan di Amerika pada 1960. Faktanya, waktu dimulainya teknik tie dye telah lebih lama dari itu. Contoh paling awal dari motif tie dye ditemukan di Peru pada tahun 500. Desain-desain pada kain tersebut meliputi lingkaran dan garis kecil dengan warna terang, seperti merah, kuning, biru, dan hijau.
Tiongkok dan Jepang telah mengembangkan teknik ini sejak abad keenam dan bahan yang cocok untuk teknik pewarnaan ini adalah bahan sutra. Tak hanya di Asia Timur, teknik ini juga menyebar ke Asia Tenggara. Di Jepang, teknik ini disebut dengan shibori, sedangkan di Indonesia disebut dengan teknik jumputan. Teknik shibori menggunakan cara pengikatan pada kayu yang dikencangkan dengan tali atau benang.
Saat ini, teknik pewarnaan tie dye menggunakan pewarnaan sintetik yang mudah digunakan, tahan lama, dan cepat mewarnai. Namun, pada awal penemuan teknik ini, para pengrajin menggunakan pewarna alami yang diekstrak dari alam. Sumber pewarna tersebut meliputi akar-akaran, buah beri, bunga, dan dedaunan. Hingga saat ini, bahan-bahan tersebut masih digunakan oleh pengrajin yang mendukung pewarnaan dan fashion organik. Kain yang digunakan untuk pewarnaan biasanya menggunakan kain dari bahan alami. Hal ini karena kain alami akan menahan warna lebih baik dibandingkan kain sintetis.
Teknik pewarnaan ikat ini juga mulai berkembang di daerah Afrika bagian barat. Pewarna yang digunakan dalam teknik ini kebanyakan menggunakan warna indigo yang terkenal di daerah Nigeria. Teknik tie dye yang diaplikasikan di Afrika sedikit berbeda, yaitu dengan membordir bagian kain yang ingin dibentuk pola lalu dicelup ke dalam pewarna. Setelah pewarna terikat pada kain, benang-benang bordir dicabut.
Di dunia barat, tie dye mulai dikenal pada 1909 oleh seorang profesor Colombia University. Meskipun teknik shibori dan jumputan sering digunakan di negara barat sebelum 1960, namun teknik dan motif ini baru terkenal pada 1960 saat dipakai oleh rockstar, Janis Joplin. Saat ini, tie dye sangat digemari karena harganya yang murah dan motifnya yang menarik. Selain itu, motif tie dye menjadi simbol anti-konflik, pemahaman, dan perdamaian. Lalu bagaimana dengan jumputan, teknik tie dye dari Indonesia?
Jumputan adalah teknik mewarnai kain dengan cara diikat, ditekan, atau dijahit untuk mendapatkan motif tertentu. Ada 2 teknik untuk menciptakan jumputan, yang pertama adalah teknik ikat dan yang kedua adalah teknik jahitan. Teknik ikat dilakukan dengan mengikat sejumput kain dengan tali atau karet secara kencang hingga larutan pewarna tak dapat meresap ke dalam ikatan tersebut. Setelah dilakukan perendaman, ikatan dilepas dan akan menghasilkan motif tertentu. Teknik jahitan dilakukan dengan membentuk pola dengan melipat atau memutar kain terlebih dahulu yang kemudian dilanjutkan dengan menjahit pada titik tertentu dengan kencang. Setelah direndam, jahitan tersebut dilepas dan motif yang dibentuk akan tampak. Penggunaan teknik jumputan ini banyak berkembang di daerah Palembang, Kalimantan Selatan, Jawa, dan Bali.