Nilai-nilai yang Terkandung dalam Permainan Tradisional

“Hompimpa alaium gambreng!”

Masih ingat kalimat magis ini yang sering kamu ucapkan ketika bermain sewaktu kecil? Berapa banyak permainan masa kecil yang kamu pernah mainkan dan masih ingat sampai sekarang? Seiring dengan berjalannya waktu, permainan tradisional khas Indonesia juga mulai terancam punah tergantikan dengan aplikasi games di handphone dan layar komputer. Tapi, tahukah kamu kalau ternyata permainan tradisional khas Indonesia itu bukan sekedar main-main?

Permainan tersebut mempunyai nilai tersendiri. Nilai-nilai yang terkandung dalam permainan tradisional, ditanam khusus oleh leluhur agar kita mencintai diri sendiri, lingkungan dan juga Tuhan. Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan budaya ternyata memiliki sekitar 300 permainan tradisional. Masih ingat apa saja permainan tradisional khas Indonesia yang fenomenal?

Engklek

Engklek atau disebut juga sunda manda, ingkling, jlong jling, lempeng, atau dampu merupakan permainan yang biasa ditemukan di Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Terdapat dugaan kalau nama permainan ini berasal dari bahasa Belanda “zondag-maandag” dan menyebar ke nusantara pada zaman kolonial.

Menurut Zaini Alif, pendiri komunitas Hong dalam presentasinya di TedxJakarta mengatakan permainan engklek atau sunda manda yang berarti Sunday Monday melambangkan jumlah hari dalam seminggu dan mengajarkan bagaimana kita harus bekerja keras setiap harinya. Permainan yang dimainkan oleh dua sampai lima orang ini menggunakan petak-petak yang digambar di tanah dan setiap anak harus berbekal pecahan genting yang disebut gacuk sebagai lambang kepemilikan mereka.

Dalam permainan ini gacuk harus ditempatkan ke dalam salah satu petak. Jika pemain lain sudah menempatkan gacuknya, maka kita harus melewati petak tersebut. Pemain yang paling banyak memiliki petak berhak menjadi pemenangnya. Permainan serupa engklek bisa juga kamu temukan di Inggris dengan nama Hopscotch.

Congklak

Congklak dikenal dengan nama dakon, dhakon atau dhakonan (Jawa), congkak (Sumatera), dentuman lamban (Lampung), dan Mokaotan, Maggaleceng, Aggalacang, Nogarata (Sulawesi). Walaupun sudah mengakar, permainan ini diduga bukan berasal dari Indonesia melainkan dibawa oleh para pedagang asing pada masa lampau. Kerja sama antara pedagang asing dengan para bangsawan membuat pertukaran budaya dan congklak adalah salah satu contohnya. Karena kerja sama itulah dahulu congklak hanya dimainkan oleh putri-putri bangsawan.

Setiap daerah memiliki ciri papan congklak yang khas, namun pada dasarnya papan congklak berupa sebuah papan berbentuk panjang. Biasanya terbuat dari kayu yang diberi cekungan berjumlah 5, 7 atau 9 pada setiap sisinya dan 2 cekungan besar disetiap ujung papan. Kedua pemain membutuhkan 98 biji congklak yang bisa terbuat dari cangkang kerang, biji-bijian ataupun plastik untuk memulai permainan. Setiap cekungan kecil diisi dengan tujuh buah biji dan pemain yang memiliki biji congklak terbanyak pada cekungan besar miliknya berhak menjadi juara.

Gasing

Gasing termasuk salah satu permainan tertua yang bisa ditemukan di berbagai situs arkeologi. Ketika berputar, gasing bertumpu pada satu titik di porosnya. Mainan ini dahulu terbuat dari kayu, namun sekarang tidak jarang juga menemukan gasing berbahan dasar plastik. Gasing pun memiliki penyebutan yang berbeda disetiap daerah. Jika di Jakarta dikenal dengan nama Gasing, maka di Jawa Barat dikenal dengan nama Panggal, Apiong untuk daerah Maluku, Kekehan di Jawa Timur dan Maggasing di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Seperti disadur dari situs Beritasatu, menurut Sejarawan dan Budayawan Indonesia, JJ Rizal, tidak hanya di Indonesia, gasing merupakan permainan khas negara agraris di Asia Tenggara. Dahulu permainan ini bukanlah sekedar permainan anak-anak, namun juga bagian dari ritual pasca panen. Gaung suaranya dipercaya dapat memanggil dewi padi agar proses tanam padi dapat berjalan dengan baik.

Galasin

Galasin, galah asin atau gobak sodor merupakan permainan grup yang terdiri dari 3-5 orang. Inti dari permainan ini adalah menghadang lawan agar tidak bisa lolos melewati garis ke baris terakhir secara bolak-balik. Para pemain menjaga garis pertahanan secara vertikal dan horizontal sesuai dengan lapangan permainan. Grup yang bisa membawa seluruh anggotanya melewati lawan adalah grup yang menjadi pemenangnya.

Permainan yang sering diidentikkan dengan istilah ‘go back to door’ ini merupakan permainan yang melatih kekompakan, strategi dan pertahanan. Menurut Zaini Alif, dahulu permainan ini menggambarkan pola pertahanan turun gunung ke lautan. “Makanya pemain yang menang akan bilang ‘asin!’ yang menggabarkan lautan” ungkap Zaini.

Teks: Prita Hersty Imaningtyas

Sumber Foto: Dok. Syarifah Riefandania, Afriadi, https://bahussuta.wordpress.com/, Wikipedia