Kain Ulos merupakan busana yang secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batak, Sumatra Utara. Awalnya Ulos hanya dikenakan dalam bentuk selendang atau sarung saat perhelatan acara-acara adat. Namun kini Ulos telah hadir dalam berbagai bentuk seperti pakaian, tas, alas meja, dompet, sarung handphone, dan lain-lain. Kain Ulos kini semakin banyak menjadi incaran. Bahkan tak hanya hanya di Sumatra Utara, kepopuleran Ulos juga sudah semakin mendunia. Penasaran apa saja keunikan di balik kain yang satu ini?
Suku Batak meyakini terdapat 3 sumber kehangatan yaitu matahari, api, dan kain Ulos. Hal ini disebabkan suku Batak kebanyakan tinggal di bukit yang dingin. Selain dipakai dalam kegiatan sehari-hari, Ulos juga memiliki peranan penting saat acara-acara adat Batak.
Ciri khas kain Ulos yang berupa motif garis-garis, menggambarkan burung atau bintang-bintang yang tersusun rapi. Kain Ulos merupakan simbol sistem sosial masyarakat Batak.
Memberikan Ulos (mangulosi) melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima Ulos. Tiap jenis kain ulos memiliki arti dan makna sendiri, baik bagi pemilik ataupun bagi yang menerimanya. Misalnya, Ulos yang paling tinggi derajatnya yaitu Ulos Ragidup. Selain pembuatannya yang sulit, Ulos jenis ini sering diartikan sebagai Ulos yang melambangkan kehidupan dan doa restu untuk kebahagiaan dalam hidup.
Dalam hal mangulosi, kain Ulos tidak boleh diberikan dari yang rendah kedudukannya kepada yang lebih tinggi dan hanya boleh dilakukan pada orang yang mempunyai status kekerabatan atau sosial lebih rendah. Misalnya, dari anak kepada orangtua.
Terkadang Ulos khusus diberikan kepada ibu hamil karena dipercaya dapat mempermudah lahirnya sang bayi serta untuk melindungi ibu dan bayinya dari segala hal yang mengancam persalinan.
Ada 3 aturan pemakaian Ulos, antara lain: siabithononton (dipakai), sihadanghononton (dililitkan di kepala atau bisa juga di jinjing), dan sitalitalihononton (dililit di pinggang).
Ketiga aturan pemakaian ini menyiratkan pesan bahwa Ulos harus ditempatkan di posisi yang tepat karena setiap aturan memiliki makna filosofis tersendiri.
Dari berbagai sumber.