Jadi Bagian dari Masyarakat dan Tetap Jadi Diri Sendiri

jadi diri sendiri

Ungkapan manusia adalah makhluk sosial rasanya terdengar begitu usang, bahkan klise. Suka atau tidak suka, kita otomatis menjadi bagian dari masyarakat yang harus patuh dengan nilai dan norma di dalamnya. Lalu, apa kabar jati diri?

Sejak awal penciptaannya, manusia tak pernah sendiri. Allah SWT menciptakan Nabi Adam AS dengan pasangannya Siti Hawa. Sebuah bukti nyata bahwa berkelompok adalah salah satu fitrah manusia. Kelompok-kelompok ini yang kemudian berkembang menjadi masyarakat.

Masyarakat, entah bagaimana, secara tidak tertulis maupun tertulis menuntut conformity (kesamaan atau keajegan). Agar diterima menjadi bagian dari masyarakat, kita diharuskan fit in, menyesuaikan diri, menjadi ‘normal’ dan ‘wajar’. Hal ini tidak sepenuhnya salah, karena masyarakat pun menciptakan nilai dan norma berdasarkan apa yang mereka yakini baik dan benar. Di Indonesia yang menjunjung nilai ketimuran,conformity ini menjadi isu krusial. Karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat kolektif yang masih mengasosiasikan dirinya dengan kelompoknya.

Berbeda dengan penduduk di belahan bumi barat yang lebih individualis. Tidak masalah kamu berbeda, mengaplikasikan nilai dan norma secara eklektik hanya pada apa yang kamu anggap benar. Sedangkan di Indonesia, kegagalan melebur dalam masyarakat membuahkan ‘kontrol sosial’ berupa gosip, desas-desus, isu miring, pengucilan, bahkan yang ekstrem bisa sampai pengusiran. Lebih menyakitkan lagi menerima label ‘sampah masyarakat’ karena kita dianggap tidak berguna, membebani masyarakat, bahkan menjadi coreng hitam memalukan.

Tapi bagaimana kalau keajegan ini tidak sesuai dengan pribadi kita? Apakah kita harus mengorbankan jati diri supaya diterima masyarakat? Salah satu keunikan manusia adalah dualisme dalam dirinya: naluri untuk berkelompok, berinteraksi, dan hasrat mengaktualiasikan ciri khas sebagai individu. Bagaimana caranya agar kita dapat menjadi bagian dari masyarakat, namun tetap menjadi diri sendiri?

  1. Each Person is Unique, And So You Are

Setiap individu adalah unik, sehingga kamu tidak perlu khawatir conformity serta-merta menjadikan kamu sama dengan yang lainnya. Masing-masing manusia memiliki pengalaman, interpretasi, serta latar belakang yang berbeda. Ada banyak faktor yang menjadikan kita diri kita yang sekarang. Anak kembar yang berada di kandungan yang sama, terlahir dalam waktu yang berdekatan, berwajah serupa, dibesarkan di keluarga yang sama pun tidak tumbuh menjadi dua individu yang sama persis. Apalagi sekumpulan masyarakat yang beragam?

  1. When Every Person is Unique, Then No One Is

Given the fact that every person is unique, then nothing’s ‘unique’ about being unique. Keunikan manusia tidak menjadikan dia lebih tinggi dari manusia lainnya. Kita juga tidak bisa meminta orang untuk mengapresiasi keunikan diri kita, sebab semua manusia sudah terlahir berbeda. Pernah dengar ungkapan true style never shouts? Apresiasi tidak datang dari diri-sendiri secara self-proclaimed, melainkan pengakuan orang lain. Sebuah penghargaan tidak dapat diharapkan, diminta, apalagi dituntut. Apakah para pemenang Grammy, Oscar, Pulitzer, atau Nobel menobatkan diri mereka sendiri? Tentu tidak. Bekerjalah, berkaryalah semampu daya upaya yang dirahmati Allah SWT. Pengakuan itu akan datang dengan sendirinya, tanpa perlu dinanti. Jika masyarakat tak menghargai, cukuplah Allah Maha Melihat lagi Maha Mengetahui.

  1. There’s Nothing I Have is Truly Mine

Semua yang ada dalam diri kita bukanlah milik kita, melainkan rahmat dari Allah SWT. Laa haula walaa quwata illa billah, tiada daya upaya melainkan atas izin Allah. Allah dapat dengan mudah mencabut segala nikmat dan kemampuan kita. Allah telah mengukur karakter, watak, fisik, dan segalanya sesuai takaran yang terbaik. Alih-alih sibuk mengklaim kemampuan diri yang dekat dengan sifat ujub, mari fokus pada memaksimalkan apa yang kita punya agar menjadi manfaat bagi orang lain, termasuk masyarakat. Dengan begini kita tidak memusatkan perhatian pada mencari pengakuan, hasrat untuk diterima, dan sebagainya. Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain?

Teks: Hafsya Umar