Burkini Ban, Saatnya Wanita Muslim Menguatkan Solidaritas

Beberapa hari yang lalu, sebuah foto menjadi viral di media elektronik maupun cetak. Foto ini menunjukkan seorang wanita yang memakai penutup kepala, baju berlengan panjang, dan celana di sebuah pantai daerah Nice, Perancis menarik perhatian 4 petugas keamanan. Wanita ini, diberitakan oleh The Guardian, mendapat denda karena dianggap memakai pakaian yang tidak menghormati paham sekular Perancis. Dalam foto, wanita tersebut mengenakan outfit berupa penutup kepala dan tunik berwarna biru serta celana panjang hitam yang dianggap oleh petugas keamanan menyerupai burkini. Sesuai aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Perancis, pemakaian burkini telah dilarang di 15 kota di Perancis, mulai dari Corsica hingga pantai utara termasuk Nice dan Cannes.

Screen-Shot-2016-08-25-at-09.30.32-640x480

Kejadian seperti tersebut bukan hanya terjadi di pantai Nice. Dilaporkan oleh BBC News, seorang wanita di Cannes juga didenda karena memakai legging, tunik, dan penutup kepala di pantai. Pelarangan burkini ini merupakan respon dari teror-teror yang terjadi sebelumnya di negara Perancis, seperti serangan di Nice pada bulan Juli lalu. Washington Post melaporkan serangan ini terjadi karena seorang pengemudi truk yang memiliki hubungan dengan ISIS melaju di keramaian perayaan kembang api Bastille Day. Insiden ini menyebabkan 80 orang meninggal dunia.

Pemerintah Perancis melakukan penerapan pelarangan burkini ini ditujukan untuk melindungi aturan dan paham sekular konstitusi Perancis. Sesungguhnya, burkini diciptakan oleh perancangnya dengan tujuan memberikan kebebasan pada wanita muslim untuk lebih bisa berpartisipasi pada olahraga umum, seperti berenang, menyelam, selancar, dan voli pantai.

Pada sidang yang diadakan mengenai pemakaian burkini ini, pengadilan menyatakan bahwa penggunaan pakaian tertentu yang menyimbolkan agama tertentu berlawanan dengan kode etik sekuler negara Perancis. Kejadian ini bukan kali pertama Perancis telah melarang pakaian yang menyimbolkan agama tertentu seperti pelarangan penutup kepala di sekolah. Sejak saat itu, aturan tersebut telah menjadi perdebatan dari berbagai pihak dan ditakutkan justru akan memberikan efek negatif dalam perlawanan terhadap radikalisme.

Kebijakan Perancis untuk memisahkan agama dan negara memang lebih tegas dibandingkan dengan negara Eropa lainnya. Perancis tak hanya menjaga agar agama tak bercampur dengan politik namun juga percaya bahwa agama sebaiknya dipisahkan dari identitas negara. Konsep ini dalam bahasa Perancis disebut dengan laicite. Dan dari konsep inilah konstitusi Perancis resmi meproklamirkan diri sebagai republik sekuler. Proklamasi ini terjadi selama Revolusi Perancis, upaya pemerintah untuk mengurangi pengaruh gereja katolik dalam politik. Konsep laicite mengarah kepada pelarangan simbol dan pakaian yang menyimbolkan agama tertentu seperti salib, yarmulkes, penutup kepala Sikh, dan jilbab pada tahun 2004.

Pada masa itu, pendekatan sekuler ini cukup mudah diaplikasikan karena saat itu Perancis merupakan negara mayoritas Kristen. Saat ini keadaan Perancis telah berbeda. Penduduk Perancis semakin beragam dan preferensi setiap etnis dan komunitas berbeda. Namun, sejak serangan Charlie Hebdo, penerapan aturan ini semakin ketat. Hal ini meningkatkan diskriminasi terhadap muslim yang tinggal di Perancis dan menjauhkan mereka dari komunitas umum Perancis.

Pemerintah Perancis khawatir terhadap perkembangan radikalisme. Hal ini dikarenakan menurut penelitian Institusi Brooking, orang dari negara berbahasa perancis cenderung lebih mudah bergabung pada kelompok radikal. Namun, jika pemerintah berpikir bahwa pelarangan pakaian tertentu akan menghentikan gerakan radikal tersebut, anggapan mereka salah.

Penyebab gerakan radikalisme sangatlah sulit untuk dijelaskan namun salah satu faktor pendorongnya adalah diskriminasi kelompok minoritas secara sosial, politik, dan ekonomi oleh kelompok mayoritas. Perancis adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di Eropa (8% dari total populasi) seperti yang dilaporkan oleh telegraph.co.uk. Sayangnya, pelarangan burkini membuat komunitas muslim ini merasa ditargetkan dan didiskriminasi. Banyak cara untuk melawan radikalisme namun pelarangan pakaian tertentu bukanlah cara yang tepat.

Indonesia sebagai negara muslim besar, mungkin tidak pernah mengalami kejadian diskriminasi tersebut. Dan kita sebagai pemeluk agama islam patut bersyukur akan hal tersebut. Namun, tahukah kamu di luar sana masih banyak muslim terutama wanita muslim berjilbab yang mendapat perlakuan diskriminatif? Kejadian yang viral baru-baru ini hanyalah sebagian kecil dari banyak kejadian diskriminatif terhadap wanita muslim di luar sana. Sekarang bukan lagi saatnya memperdebatkan peraturan tersebut, menyalahkan pihak tertentu, atau bahkan menyerang balik. Sekarang saatnya kita saling mendukung, saling menguatkan sesama muslim, dan menunjukkan sikap terbaik kita sebagai wanita muslim kepada pihak yang belum mengerti tentang indahnya Islam. Wanita muslim tak hanya tentang jilbab yang dipakainya tetapi tentang perubahan yang dibawanya dan pemberdayaan kemampuannya untuk lingkungan sekitarnya.

Para wanita muslim di dataran Eropa telah memulai gerakannya untuk bangkit melawan diskriminasi dan menggalakkan gerakan solidaritas untuk saudara sesama muslim mereka. Bagaimana denganmu? Apa pendapatmu tentang hal tersebut? Dan bagaimana tindakan solidaritas yang akan kamu ambil?

foto: berbagai sumber