Mengapa Menikah di Bulan Syawal?

Memasuki bulan Syawal, banyak kita dapati rekan dan saudara yang menikah. “Habis Lebaran,” juga biasa menjadi jawaban akan rencana waktu menikah. Mengapa orang-orang banyak menikah di bulan Syawal? Bagaimana hukum menikah di bulan Syawal?

Bulan ke-10 dalam penanggalan Hijriyah ini mendapat namanya dari bahasa Arab syalat. Pada bulan ini, biasanya unta betina menolak dikawini dengan cara mengangkat ekornya untuk mengusir unta-unta jantan (syalat bi dzanabiha: menolak dengan mengangkat ekornya). Anehnya, bangsa Arab jahiliyah ‘mengadopsi’ fenomena ini dengan tidak menikah pada bulan Syawal. Bahkan menganggap bulan Syawal adalah bulan sial untuk menikah.

Kehadiran Islam, terutama melalui Rasulullah SAW banyak meluruskan kebodohan kaum terdahulu. Salah satunya adalah ketika Rasulullah SAW menikahi Aisyah RA pada bulan Syawal. Dalam salah satu riwayat disebutkan, dari Aisyah RA “Rasulullah SAW menikahiku di bulan Syawal, dan membangun rumah tangga denganku pada bulan syawal pula. Maka isteri-isteri Rasulullah SAW yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?” (HR. Muslim)

Hadits di atas tidak bermaksud mengecilkan pernikahan Rasulullah dengan istrinya yang lain, melainkan untuk menegaskan besarnya keberkahan bulan Syawal. Sehingga alangkah baiknya jika bulan berkah ini dimanfaatkan untuk mengawal sebuah kebaikan, yaitu menikah. Sebab sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di antara sunahku, aku shalat malam dan aku juga tidur, aku berpuasa dan aku juga berbuka, aku menikah dan aku juga (bisa) menceraikan. Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka ia bukan golonganku.” (HR. Ad-Darimi). Sehingga menikah di bulan Syawal adalah salah satu sunnah Rasulullah SAW.

Namun terlepas dari semua itu, yang lebih penting adalah menjauhi tasyaum atau thiyarah (anggapan sial terhadap sesuatu) yang tentu bertentangan dengan ajaran Islam. Banyak orang tua dan leluhur yang menghindari menikah pada tanggal dan bulan tertentu karena dianggap membawa sial. Ada juga yang menentukan tanggal pernikahan dengan menghitung tanggal serta hari lahir kedua mempelai. Kemudian dengan hitung-hitungan khusus menentukan tanggal yang tepat yang akan membawa keberuntungan.

Pola pikir lama ini sebaiknya segera ditinggalkan jauh-jauh. Allah tidak menciptakan sial pada hari, bulan, tahun, jam tertentu. Setiap detik bagi umat Islam adalah anugerah dan kebaikan. Sehingga kita tidak ada hari sial atau hari buruk untuk menikah. Dalam hadisnya, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada (sesuatu) yang menular dan tidak ada (sesuatu) yang sial (yakni secara dzatnya), dan aku kagum dengan al-fa’l ash-shalih, yaitu kalimat (harapan) yang baik.” (HR. Bukhari Muslim). Apalagi untuk memulai sebuah kebaikan seperti menikah, tidak ada hari yang buruk untuk menyempurnakan separuh agama.

Pernikahan biasanya digelar akhir pekan. Namun ini lebih kepada pertimbangan praktis agar tidak menyulitkan tamu yang hendak hadir memberi restu. Jika pernikahan digelar di akhir pekan, kemungkinan besar mereka dapat meluangkan waktu untuk hadir di pernikahan kita karena sedang libur kerja dan sekolah. Untuk pertimbangan semacam ini, tidak bertentangan dengan agama. Selama bukan merupakan thiyarah dan tasyaum tadi.